Minggu, 09 Maret 2008

Gurita KKN di Pertamina

Pertamina mulai kehabisan energi untuk 'melawan.' Kini ia kelihatan pasrah monopolinya atas sektor migas akan dipotong. Apalagi sebelum DPR mulai membahas RUU Migas versi baru, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral akan mengajukan konsep restrukturisasi Pertamina kepada Presiden.

Menurut konsep ini, unit usaha Pertamina dibagi dua yaitu mengurusi sektor hulu dan hilir. Hulu artinya hanya mengurusi eksplorasi dan eksploitasi yang selama ini dilakukan oleh Direktorat Eksplorasi dan Produksi (Pertamina owned operation).

Sementara sektor hilir akan diisi oleh gabungan Direktorat Pengolahan, Direktorat Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri (PPDN) dan Direktorat Perkapalan, Komunikasi dan Kebandaran (PKK). Sedangkan BPPKA akan dilikuidasi dan kewenangannya diserahkan kepada Pemerintah. Restrukturisasi juga akan memangkas pegawai sehingga 17.800 orang pada 2005.

Untuk membedah gurita KKN di Pertamina ini, rumus korupsi dari ahli korupsi Robert Klitgaard: C = M+D-A (Corruption = Monopoly + Discretionary - Accountability) tepat digunakan. Dari rumus itu terlihat monopoli dan keleluasaan tanpa disertai akuntabilitas membuat Pertamina dibelit gurita KKN.

Simbol monopolistik

Sejak 1971 saat UU 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi disahkan, usaha pertambangan minyak dan gas bumi praktis dimonopoli Pertamina.

Sepintas memang terasa aneh, usaha pertambangan migas diatur dengan UU tentang Pertamina, bukan UU tentang pertambangan migas itu sendiri.

Sebelumnya memang ada UU No. 44 Prp tahun 1960 tentang migas, tetapi di dalamnya dijelaskan pengusahaan migas hanya dapat diselenggarakan oleh negara dan pelaksanaannya dilakukan olehh Perusahaan Negara. Pertamina sendiri didirikan berdasarkan PP No. 27/1968 yang melebur berbagai perusahaan negara di bidang migas.

Dalam UU 8/1971 tersebut dijelaskan migas merupakan bahan galian strategis untuk perekonomian negara dan Hankam. Dijelaskan juga Pertamina adalah integrated state oil company yang bergerak di bidang pengusahaan migas.

Artinya meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan. Dengan demikian terlihat jelas Pertamina merupakan perusahaan yang terintegrasi vertikal, dari hulu sampai hilir.

Dari sini saja paling tidak Pertamina mempunyai tiga fungsi yang berbeda yaitu:

Pertama, sebagai pemegang kuasa pertambangan Pertamina mempunyai kekuasaan untuk memberi izin siapa saja yang dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas.

Kekuasaan ini dilakukan BPPKA (Badan Pengusahaan dan Pembinaan Kontraktor Asing).

BPPKA inilah yang kemudian melakukan kontrak dengan perusahaan minyak dengan sistem PSC (Production Sharing Contract). Tetapi di samping itu Pertamina memakai varian model kontrak lainnya termasuk TAC (Technical Assistance Contract) dan JOB (Joint Operation Body).

Intinya, kontrak semacam ini memberi kekuasaan besar bagi Pertamina a.l. menjadikan perusahaan minyak lainnya hanya sebagai kontraktor.

Kedua, sebagai perusahaan yang bergerak pada industri hulu migas, yaitu eksplorasi dan eksplitasi.

Ketiga, sebagai perusahaan yang bergerak dalam industri hilir migas, yaitu pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan.

Celah KKN

Cara paling mudah untuk melihat di mana sajakah celah korupsi di Pertamina adalah dengan melihat hasil audit efisiensi yang dijalankan PWC (Price & Waterhouse Cooper) terhadap Pertamina periode 1 April 1996-31 Maret 1998.

Pertama, pada BPPK sebagai pemegang kuasa pertambangan migas, PWC menemukan beberapa inefisiensi a.l. fungsi BPPKA yang rancu, ketiadaan keharusan restorasi ladang yang ditinggalkan, premi asuransi ke Tugu Pratama yang kemahalan dan lemahnya pengawasan terhadap kontraktor.

Tetapi dari informasi yang didapatkan ICW, terdapat celah KKN yang sangat besar yaitu proses pemberian hak pertambangan dan lemahnya pengawasan terhadap kontraktor yang mengakibatkan kontraktor dapat memainkan klausul cost recovery.

Untuk yang pertama, KKN terjadi dalam proses penunjukan kontraktor dalam menggarap ladang minyak. Sedangkan yang kedua, KKN dalam verifikasi biaya kontraktor oleh BPPKA. KKN ini terjadi akibat efek KPS di mana Pertamina bertanggung jawab mengelola operasi sementara kontraktor bertanggung jawab menjalankan eksplorasi dan produksi.

Kontraktor juga menyediakan seluruh dana dan peralatan teknis serta menanggung risiko operasi. Biaya inilah yang nantinya diganti Pertamina (cost recovery) dalam bentuk pembagian hasil produksi setelah diverifikasi oleh BPPKA.

Klausul ini banyak disalahgunakan dengan membuat biaya produksi setinggi-tingginya tanpa melihat efisiensi. Sedangkan verifikasi BPPKA dapat 'diatur', asal tersedia uang tutup mulut. Celah KKN inilah yang luput dari PWC, yaitu adanya pendapatan yang seharusnya dapat diterima Pertamina.

Menurut informasi yang dikumpulkan ICW, persentase bagi hasil antara Pertamina dan kontraktor yang seharusnya 85:15, karena KKN tersebut menjadi imbang, sekitar 50:50. Dengan demikian ada savings opportunity yang signifikan.

Dalam konsep restrukturisasi Pertamina dan RUU Migas yang baru, kuasa pertambangan akan dijalankan oleh suatu badan independen yang akan terdiri dari kalangan Pemerintah dan profesional migas. Badan ini direncanakan bernama BPKP (Badan Pelaksana Kuasa Pertambangan) dan menggantikan fungsi BPPKA.

Badan Pelaksana ini akan mewakili Pemerintah untuk kontrak kerja sama dengan perusahaan migas dalam pengusahaan eksplorasi dan eksploitasi. Kontrak ini tak hanya terbatas pada KPS saja tapi juga membuka kemungkinan lain seperti Kontrak Karya yang banyak dipakai dalam pertambangan umum.

Diharapkan adanya kontrak karya dapat meminimalkan inefisiensi.

Kedua, pada Direktorat Eksplorasi dan Produksi, PWC menemukan beberapa inefisensi, yaitu inefisensi dalam biaya operasi, keterlibatan dalam kegiatan yang bukan kompetensi, KKN dalam pemberian TAC (Technical Contract), infisiensi dalam penetapan harga gas, minim transparansi atas kewajiban terhadap ladang yang ditinggalkan, inefisiensi dalam persediaan barang dan dalam pemeliharaan ladang tak produktif.

Ketiga, sisi hilir yang terdiri dari Direktorat Pengolahan, Direktorat Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri PPDN dan Direktorat Perkapalan, Komunikasi dan Kebandaran (PKK), PWC menemukan beberapa inefisensi termasuk KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa yang menghasilkan berbagai kontrak yang terlalu mahal.

Sedangkan restrukturisasi yang akan dilakukan adalah membentuk suatu Badan Pengatur (BP) untuk mengatur pengusahaan usaha hilir yaitu pengolahan, pengangkutan penyimpanan dan pemasaran.

Restrukturisasi ini akan melibatkan pengusahaan migas di sisi hilir ini, yaitu dengan membuka pasar BBM dalam negeri bagi badan usaha dalam negeri, seperti BUMN (tentu saja Pertamina), swasta dan koperasi.

Tak kalah pentingnya adalah kelemahan Pertamina dari sisi akuntabilitas. Temuan PWC, misalnya, menyebutkan Pertamina tak punya teknologi informasi dan prosedur operasi yang memadai untuk menyiapkan laporan keuangan secara tepat waktu dan mencakup rekonsiliasi 44 unit bisnisnya, apalagi rekonsiliasi secara keseluruhan. Selain itu juga terdapat kelemahan dalam proses penganggaran.

Kemudian laporan keuangan Pertamina tak pernah dipublikasi secara luas, hanya terbatas pada Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP). Ini menggambarkan kesenjangan untuk menutup perhatian publik terhadap akuntabilitas Pertamina. Hal ini juga membenarkan rumus Klitgaard di atas sangat tepat untuk menunjukkan gurita KKN di Pertamina.

Sumber : Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar